Risiko Pidana Penggunaan Kata “Diduga” dalam Pemberitaan Media
Tanjung Karang (21/11), Mencuat nya kasus-kasus sengketa Pers beberapa tahun belakangan terakhir menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap pemberitaan yang merugikan reputasi individunya, walaupun para jurnalis/pewarta menggunakan tameng dengan diksi “diduga” untuk melindungi dari jeratan hukum. Namun, tetap saja proses hukum masih berlanjut.
Penggunaan kata “diduga” dalam pemberitaan menjadi sorotan setelah sejumlah kasus sengketa pers menempatkan diksi tersebut sebagai alasan utama terjadinya misinformasi dan pencemaran nama baik.
Meski sering dianggap sebagai pilihan kata aman untuk menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), para ahli hukum mengingatkan bahwa kata “diduga” bukanlah perlindungan mutlak dari jerat pidana apabila digunakan tanpa dasar yang jelas atau dengan narasi yang mengarah pada penyimpulan bersalah.
Dari sumber-sumber literatur hukum pidana, bahwa asas praduga tak bersalah yang melekat dalam seluruh proses peradilan pidana mengharuskan agar media berhati-hati dalam mempublikasikan dugaan tindak pidana, terutama ketika identitas seseorang turut disebutkan (Hamzah, 2008: 54).
Pemberitaan yang hanya disandarkan pada “dugaan” tanpa verifikasi yang memadai dapat dianggap mencederai prinsip hak asasi manusia atas kehormatan, harkat martabat,.dan nama baik seseorang (Deklarasi Universal HAM; pasal 12).
Pakar hukum pidana, Mahrus Ali, menegaskan bahwa penggunaan kata “diduga” tidak menghilangkan potensi pertanggungjawaban pidana apabila narasi pemberitaan menggiring opini bahwa seseorang telah benar-benar melakukan tindak pidana yang dimaksud (Ali, 2023: 178–181).
Unsur tindak pidana tidak hanya diukur dari pilihan diksi saja, tetapi dari dampak informasinya terhadap kehormatan seseorang, sehingga delik pencemaran nama baik dalam Pasal 310–311 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tetap dapat menyasar penulis/pewarta dan atau media meskipun menggunakan kata “diduga”.
Pelanggaran terhadap prinsip tersebut dapat mengakibatkan pertanggungjawaban pidana maupun perdata, termasuk kewajiban memberikan ruang hak jawab (UU Pers, 1999: Pasal 5–18).
Penggunaan kata “diduga” tetap harus diikuti dengan prinsip penyajian informasi secara berimbang, dengan meliput kedua sisi atau sudut pandang yang berlawanan dari suatu isu (cover both sides) dan tidak boleh digunakan untuk membenarkan pemberitaan spekulatif (Dewan Pers, 2014).
Pengamat etika jurnalistik menambahkan bahwa persoalan utama bukan pada kata “diduga”, tetapi pada bagaimana media membangun framing pemberitaan. Jika konteks berita tidak memberikan ruang obyektif atau tidak menampilkan sumber yang kredibel, maka penggunaan kata tersebut justru menjadi indikasi ketidakprofesionalan redaksi (Suteki & Taufani, 2019: 92).
Oleh karena itu, verifikasi mendalam, kejelasan sumber informasi, serta pembingkaian yang tidak memvonis menjadi syarat mutlak bagi media dalam menggunakan diksi tersebut.
Kesimpulan
Diksi “diduga” bukan perlindungan mutlak apabila tidak didukung verifikasi, konteks yang benar, dan pemberitaan berimbang. Risiko pidana seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan pertanggungjawaban korporasi tetap dapat muncul. Oleh karena itu, media wajib menerapkan KEJ, UU Pers, dan prinsip kehati-hatian.
Penulis : Gunawan Kesuma Yudha, S.H. (Sekretaris DPD PPWI Prov Lampung)
