Peran dalam Meningkatkan Kesadaran Lingkungan Global, di Desa Talok, Mojokerto
The Role of Translation in Promoting Global Environmental Awareness:
A Case Study of Reduce, Reuse, Recycle Campaign in Talok Village, Mojokerto
Abstract :
This study discusses the important role of translation in increasing the level of public awareness of the global environment through a case study of the Reduce, Reuse, Recycle (R3) campaign in Talok Village, Mojokerto Regency. The approach used is qualitative which has explored how translation as a campaign message into a local language can influence public understanding and participation in environmental issues. The results of this study indicate that most residents have heard of Reduse, reuse, recycle (R3) but do not fully understand how to apply it in everyday life. Many of them have never participated in direct socialization, including used goods collectors who actually play a major role in the recycling process. This study emphasizes that translating environmental messages is not enough to use only Indonesian, especially with technical terms but must be adjusted to everyday language that can bridge the gap in understanding between community groups, That way, the community becomes more understanding and closer which ultimately moves to be directly involved in protecting the environment. Therefore, an affective environmental communication strategy is not only about language, but also about a visual, participatory approach, based on local context so that campaign messages can be conveyed widely and are relevant in environmental conservation.
Keywords : translation, Reduce reuse Recycle (R3), local language, campaign, environment, Talok Village
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang peran penting penerjemahan dalam meningkatkan Tingkat kesadaran msyarakat terhadap lingkungan global melalui studi kasus kampanye Reduce, Reuse, Recycle (R3) di Desa Talok, Kabupaten Mojokerto. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif yang telah mengeksplorasi bagaimana penerjemahan sebagai pesan kampanye ke dalam bahasa lokal yang dapat memengaruhi pemahahan dan partisipasi masyarakat terhadap isu lingkungan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar warga sudah pernah mendengar tentang Reduce, Reuse, Recycle (R3) akan tetapi belum sepenuhnya paham bagaimana cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang belum pernah ikut sosialisasi langsung, termasuk para pengepul barang bekas yang sebenarnya berperan besar dalam proses daur ulang. Penelitian ini menegaskan bahwa penerjemahan penyampaian pesan lingkungan tidak cukup hanya menggunakan bahasa Indonesia, apalagi dengan istilah teknis melainkan harus disesuaikan dengan bahasa sehari-hari yang mampu menjembatani kesenjangan pemahaman antar kelompok masyarakat. Dengan begitu, masyarakat menjadi lebih paham dan lebih dekat yang akhirnya bergerak terlibat langsung dalam menjaga lingkungan. Oleh karena itu, strategi komunikasi lingkungan yang efektif bukan hanya tentang bahasa, tetapi juga tentang pendekatan visual, partisipatif, berbasis konteks local agar pesan kampanye dapat tersampaikan secara luas dan relevan dalam pelestarian lingkungan.
Kata Kunci : penerjemahan, Reduce Reuse Recycle (R3), bahasa lokal, kampanye, lingkungan, Desa Talok
LATAR BELAKANG
Kesadaran terhadap isu lingkungan global semakin hari semakin menjadi perhatian utama di tengah-tengah meningkatnya tantangan ekologis yang dihadapi dunia saat ini. Perubahan iklim, polusi, serta eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menuntut adanya langkah-langkah konkret untuk menjaga keberlanjutan lingkungan (Oppong & Mathibe, 2024). Permasalahan lingkungann ini semakin mendesak, terutama dalam pengelolaan sampah yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan pola konsumtif pada masyarakat (Michmidatin, Rodiyah., 2024).
Data dari United Nations Environtment Programme pada tahun 2023 menunjukkan bahwa setiap tahun dunia menghasilkan > 300 juta ton sampah plastic, dengan hanya sekitar 9% yang berhasil didaur ulang. Di Kabupaten Mojokerto sendiri, menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), total timbunan sampah pada tahun 2023 mencapai 68.000 ton. Dari jumlah tumpukan sampah tersebut, sekitar 64% berhasil ditangani oleh pihak DLHK melalui berbagai metode pengelolaan, termasuk pengangkutan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), daur ulang, dan pengomposan. Namun sisanya masih sekitar 36%, sampah masih belum terkelola dengan baik yang berpotensi menimbulkan dampak negarif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di Kabupaten Mojokerto. Kondisi ini mencerminkan tantangan serius dalam sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Mojkerto, terutama meningat pertumbulan populasi dan pola konsumtif masyarakat yang terus meningkat pesat. Tanpa upaya pengelolaan yang efektif, volume sampah diperkirakan akan terus meningkat, sehingga bisa saja berdampak memperburuk permasalahan lingkungan yang ada.
Konsep Reduce, Reuse, Recycle (3R) adalah pendekatan dalam pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mengurangi volume limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir. Reduce berarti mengurangi produksi sampah sejak dari sumbernya, misalnya dengan menghindari penggunaan barang-barang sekali pakai (disposable). Reuse mengacu pada penggunaan kembali barang-barang yang masih layak pakai untuk memperpanjang masa guna dan mengurangi pemborosan sumber daya. Sementara itu, Recycle adalah kegiatan atau proses mendaur ulang sampah menjadi produk dan bahan baru yang dapat dimanfaatkan, guna mengurangi kebutuhan bahan mentah baru dan menekan dampak pencemaran lingkungan. Pendekatan 3R ini menjadi semakin relevan sebagai solusi praktis dan berkelanjutan dalam menghadapi krisis sampah, terutama sampah plastik yang sulit terurai dan berdampak panjang terhadap ekosistem.
Urgensi penerapan prinsip 3R semakin kuat dengan dipilihnya Desa Talok, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto sebagai lokasi studi kasus. Sekitar 70% dari masyarakat Desa Talok bermata pencaharian sebagai pengepul barang bekas atau rongsokan, sebuah profesi yang berkaitan langsung dengan aktifitas memilah, mengelompokkan, dan menjual kembali barang-barang bekas. Kondisi ini yang menjadikan masyarakat Desa Talok secara alami telah menerapkan konsep Reuse dan Recycle, meskipun sering kali dilakukan tanpa landasan kesadaran ekologis yang terstruktur. Kesesuaian karakteristik masyarakat Desa Talok dengan prinsip-prnsip 3R menunjukkan urgensi untuk mengembangkan program komunikasi lingkungan yang terarah, menggunakan pendekatan kultural yang relevan, serta penerjemahan pesan yang dapat dipahami dan diterima secara luas. Dengan demikian, kampanye ini tidak hanya berkontribusi dalam pengurangan sampah secara lokal, tetapai juga memperkuat model pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan yang dapat direplikasi di daerah lain.
Namun, keberhasilan penerapan prinsip 3R sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat serta dukungan fasilitas yang memadai. Penelitian di Desa Trawas, Mojokerto, mengungkapkan bahwa keterbatasan fasilitas dan minimnya sosialisasi menjadi kendala utama dalam menjalankan program 3R (Oppong & Mathibe, 2024). Oleh karena itu, dibutuhkan strategi komunikasi yang efektif agar masyarakat dapat memahami pentingnya 3R dan mampu menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam menyampaikan informasi tentang lingkungan, bahasa punya peran penting untuk menjangkau lebih banyak orang. Penerjemahan membantu menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilai tentang lingkungan ke berbagai kalangan dengan latar budaya dan bahasa yang berbeda, sehingga memperkuat pemahaman global tentang isu-isu ekologi. Tanpa penerjemahan yang tepat, pesan-pesan dalam kampanye lingkungan bisa saja tidak sampai dengan baik atau bahkan disalahartikan oleh audiens yang lebih luas. Inilah mengapa penerjemahan menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi lingkungan agar lebih banyak orang yang sadar dan terdorong untuk ikut menjaga alam. Selain itu, penerjemahann memungkinkan isi kampanya disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masing-masing komunitas, yang tentu akan membuatt pesan lebih relevan dan mudah diterima. Dalam kampanye berbasis komunitas seperti yang dilakukan di Desa Talok, Mojokerto, penggunaan strategi penerjemahan dengan media poster yang memperhatikan kearifan lokal terbukti menjadi kunci dalam meningkatka pemahaman serta mendorong partisipasi warga untuk menerapkan prinsip 3R dalam keseharian mereka.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran penerjemahan dapat membantu meningkatkan kesadaran lingkungan di tingkat global, dngan mengambil studi kasus kampanye Reduce, Reuse, Recycle (3R). Studi ini mengambil kasus di Desa Talok, Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto, yang dilatar belakangi karena sekitar 70% warganya bermata pencaharian sebagai pengepul barang bekas. Kondisi ini menjadikan mereka kelompok yang relevan untuk kampanye 3R, terutama dalam praktik reuse dan recycle yang telah mennjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Penelitian ini juga menyoroti penggunaan media poster sebagai sarana visual dalam menyampaikan pesan lingkungan yang telah diterjemahkan. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menelusuri strategi penerjemahan yang digunakan dalam pembuatan poster kampanye, kendala komunikasi yang dihadapi, serta bagaimana pengaruh faktor sosial dan budaya lokal terhadap pemahaman serta penerimaan masyarakat terhadap pesan tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merancang strategi komunikasi lingkungan yang lebih konstektual, inklusif, dan efektif dalam mendoroang partisipasi masyarakat terhadap isu keberlanjutan.
KAJIAN TEORI
Kesadaran lingkungan global adalah pemahaman kolektif tentang pentingnya menjaga keseimbangan alami dan keberlanjutan dalam kehidupan di tengah tantangan ekologis dunia saat ini. Dalam era globalisasi ini, isu lingkungan seperti perubahan iklim, pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan penumpukan limbah atau sampah tidak hanya berdampak secara lokal saja tetapi juga antar negara. (Almulhim & Abubakar, 2021) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan publik terhadap ekonomi sirkular (circular economy /CE) mendukung sikap pro-lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam strategi 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kemudian, menurut (Lim, 2025) akan kesadaran semacam ini bukan hanya ditentukan oleh pengetahuan, tetapi juga oleh nilai, sikap, dan norma yang hidup dalam masyarakat. Isu lingkungan yang bersifat global menuntut pendekatan komunikasi yang mampu menjangkau mesyarakat dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbe(Ji & Lin, 2022)da, sehingga pesan lingkungan dapat diterima dan dipahami secara luas dan tepat sasaran.
Konsep 3R sendiri merupakan bagian penting dari kerangka ekonomi sirkular. (Uwuigbe et al., 2025)melalui studi bibliometrik menunjukkan peningkatan literatur CE sejak 2019 di berbagai negara berkembang, menyoroti pentingnya desain ulang, pengeolaan limbah, dan model bisnis inovatif. Dalam lingkup yang lebih luas, prinsip 3R merupakan bagian dari kerangka ekonomi sirkular (circular economy). Ekonomi sirkular tidak hanya mengandalkan inovasi teknologi, tetapi juga menuntut perubahan perilaku sosial dan pola konsumsi masyarakat. Studi mereka menunjukkan bahwa kesuksesan implementasi ekonomi sirkular sangat tergantung pada keterlibatan komunitas serta penyampaian pesan yang disesuaikan dengan konteks lokal.
Dalam penyebaran informasi lingkungan, penerjemahan memerankan peran penting terutama dalam menjembatani perbedaan bahasa dan budaya. Terjemahan tidak hanya memindahan bahasa secara literal, tetapi juga membawa makna dan konteks opesan sesuai dengan latar belakang budaya target. Penerjemahan materi kampanye lingkungan yang dilakukan secara tepat akan dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam aksi nyata pelestarian lingkungan, terutama di daerah yang tidak menggunakan bahasa sumber dalam keseharian yang dilakukan.
Dalam proses penyampaian kepada masyarakat luas, penerjemah memainkan peran pentingnya dalam mengisi perbedaan linguistik dan budaya. Terjemahan ini tidak hanya secara harfiah mentransfer informasi, tetapi juga menyampaikan makna dan konteks, memastikan bahwa berita masyarakat dpaat dipahami dengan benar di latar belakang yang berbeda. Seperti halnya pembagian berupa media visual sebagai salah satu contoh adalah poster juga memiliki peran strategis dalam kampanye kesadaran lingkungan. Visualisasi informasi terbukti lebih mudah dipahami dan diingatkan oleh masyarakat dengan tingkat literasi yang beragam. (Harris, 2018) menjelaskan bahwa komunikasi visual memungkinkan transfer pesan yang cepat, tepat, dan menarik, sehingga lebih efektif dalam mendorong perubahan perilaku kolektif yang mendukung pelestarian lingkungan.
Selain terjemahan,penggunaan media visual seperti poster juga merupakan elemen penting dari kampanye lingkungan. Visual media memungkinkan untuk memori pngiriman pesan yang cepat, tepat, menarik, dan mudah diterima, terutama dalam konteks masyarakat dengan berbagai Tingkat melek huruf dan baca bahasa. Penelitian oleh (Vallverdu-Gordi & Marine-Roig, 2023) menunjukkan penggunaan semiotik desain grafis dalam kampanye kesadaran lingkungan karena daya tarik visual dan kemudahan (Ji & Lin, 2022) menyatakan bahwa elemen visual keberlanjutan pada produk ramah lingkungan secra signifikan yang menarik perhatian dan meningkatkan retensi informasi audiens yang berasal dari berbagai latar belakang Dengan penggunaan elemen desain grafis dalam kampanye lingkungan, seperti simbol, warna, dan ilustrasi. Dengan visual yang tepat, pesan kampanye tidak hanya lebih mudah dipahami tetapi juga lebih membekas di ingatan dan mendorong keinginan untuk terlihat dalam aksi nyata menjaga lingkungan.
Keberhasilan komunikasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh pendekatan partisipatif yang secara aktif berpartisipasi dalam masyarakat. Balit dan Acunzo (2020) dalam konteks pembangunan pedesaan menyoroti bahwapraktik komunikasi untuk pembangunan yang efektif harus mengintegrasikan dialog dua arah dan perlibatan komunikasi dalam pengambilan keputusan, sesuai refleksi dan tindakan untuk transformasi perubahan. Dalam kampanye lingkungan seperti 3R di Desa Talok, penggunaan fondasi budaya local dan media visual yang mudah dipahami adalah bagian penting dari pendekatan partisipatif. Oleh karena itu, masyarakat tidak hanya sebagai penerima informasi, akan tetapi juga pemangku utama dari upaya pelestarian lingkungan.
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh , yang menggunakan wawancara dan observasi partisipasi untuk memahami dinamika pengelolaan lingkungan berbasis komunitas. Pendekatan kualitatif ini dianggap relevan untuk menggali perspektif subjektif dan praktik lokal yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Penelitian ini dipilih untuk menjelaskan situasi aktualseluruh wilayah yang akan diteliti. Penelitian ini ibuat dengan tujuan untuk memahami secara mendalam peran penerjemahan dalam meningkatkan kesadaran lingkungan melalui kampanye Reduce, Reuse, Recycle (3R) yang bertempat di Desa Talok, Keacamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto.
Data dikumpulkan melalui kampanye observasi lapangan dengan wawancara mendalam dengan para warga desa, perangkat desa, dan pihak-pihak yang terlibat dalam kampanye penyuluhan lingkungan, termasuk penerjemah lokal yang menerjemahkan materi kampanye dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Penelitian ini juga mengenalisis dokumen kampanye 3R, baik dalam versi asli maupun versi penerjemah. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan praktik penelitian sosial dalam konteks lingkungan yang ditekankan oleh (Hilmi et al., 2021a) dalam kajiannya tentang literasi ekologi di tingkat komunitas. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan observasi langsung terhadap aktivitas warga dan fasilitas pengelolaan sampah dan limbah masyarakat serta dokumentasi berupa foto, catatan lapangan dan dokumen 3R yang tersedia di desa.
Dokumen yang telah dianalisis mencakup materi asli berbahasa Inggris dan versi terjemahan dalam Bhasa Indonesia dan bahasa Jawa. Analisis ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana proses penerjemahan yang mampu mempertahankan makna, nilai, dan konteks pesan lingkungan, serta bagaimana penyesuaian bahsa lokal yang berkontribusi terhadap masyrakat. Metode ini serupa dengan pendekatan yang digunakan oleh (Dahlan et al., 2023), yang mengevaluasi literasu lingkungan siswa melalui penerapan gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) berbasis pengalaman bahasa dan budaya lokal sekitar dalam pendidikan dasar.
Penelitian ini dilakukan secara tematis, dengan topik utama yang ditemukan dalam data lapangan, dari transkrip hasil wawancara. Seluruh proses penelitian dilakukan dnegan memastikan otorisasi informan, menjaga kerahasiaan identitas mereka, dan mempertahankan etika yang memastikan partisipasi secara sukarela. Pendekatan ini diharapkan untuk memberikan gambaran secara realita mengenai efektivotas dan tantangan kampanye 3R di tingkat desa, serta memberikan pelajaran berharga dan bermakna bagi pengelola sampah melalui berbagai komunitas.
HASIL
Pada Hasil kali ini yakni mengacu pada Metodologi yakni penelitian Kualitatif oleh karena itu penelitian ini dihasilkan dengan teknik wawancara dengan informan yang berada di desa Talok sendiri sebagai bentuk pencarian dan dokumentasi langsung di lapangan. Pendekatan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan menggambarkan realitas kompleks.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga informan desa Talok yang memiliki perspektif berbeda mengenai program kampanye lingkungan, diantara lain perangkat desa, warga local, dan pengepul barang bekas. Dalam wawancara peneliti sudah menyiapkan instrument wawancara yang digunakan untuk informan dengan pertanyaan yang berbeda. Berikut jawaban dari 3 informan mengenai instrument pertanyaan yang dibuat pewawancara.
Perangkat Desa Talok
Setelah peneliti melakukan survei di desa Talok, peneliti mendatangi balai desa Talok, kemudian peneliti melakukan beberapa pertanyaan semi terstruktur ke perangkat desa mengenai (A Case Study of 3R). Perangkat desa mengaku bahwa “media yang digunakan oleh pemdes kurang efektif, sehingga partisipasi warga sangat rendah hanya bisa mencapai 40% tingkat kehadiran, meskipun dari pihak Kepala desa dan perangkat aktif terlibat.”. Informan juga mengungkapkan bank sampah yang masih aktif hanya tiga dari enam dusun itupun dinahkodai oleh ibu PKK. Setelah melakukan proses wawancara peneliti melakukan dokumentasi dengan perangkat desa untuk pengumpulan data.
Pengepul Barang Bekas Desa Talok
Perkenalan peneliti dengan informan pengepul sampah dijembatani oleh seorang tetangga peneliti yang biasa menjual barang bekas di desa Talok. Penggalian data yang peneliti lakukan lakukan pada informan pengepul sampah melaui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pada kesempatan tersebut peneliti melakukan wawancara dengan informan disertai dengan peneliti memperlihatkan media poster 3R, informan tersebut menjelaskan bahwa “Para pengepul sampah belum pernah mendapatkan sosialisasi atau melihat media kampanye tentang 3R.” setelah informan melihat poster yang ditunjukkan peneliti, isinya dimulai mudah dipahami dan cukup relevan. Pengepul menyarkan agar sosialisasi 3R diperluas dan lebih menyasar masyarakat serta pelaku lapangan. Setelah melakukan wawancara, peneliti juga melakukan dokumentasi kegiatan informan yang sebagai pengepul barang bekas, dokumentasi juga termasuk dalam teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan.
Warga Desa Talok
Setelah melakukan survei di desa Talok, ada salah satu warga yang bersedia menjadi informan dalam penelitian program kampanye lingkungan 3R. Peneliti melakukan wawancara di rumah informan, dengan pertanyaan semi terstruktur. Berdasarkan wawancara dengan informan menggunakan instrument wawancara yang dibuat peneliti, informan mengungkapkan bahwa warga desa sudah pernah mendengar tentang 3R. Meskipn belum mempraktikkan secara langsung dan seperti pengepul, waga juga belum pernah mendapat sosialisasi secara langsung, namun pernah melihat kampanye 3R disekolah (ecobrick). Mereka juga menyarankan pendekatan langsung per RT melalui gotong royong dan kebijakan desa. Setelah peneliti melaukan wawancara, peneliti juga melakukan dokumentasi seperti dua informan lainya.
Analisa Hasil Penelitian
Analisis Hasil Partisipasi dan Efektifitas Program dari Perspektif Perangkat Desa
Temuan utama : Tingkat kehadiran warga dalam kegiatan kampanye lingkungan sangat rendah (sekitar 40%), meskipun partisipasi pihak Pemdes sangat aktif
Analisis : 1.) Rendahnya partisipasi menunjukkan adanya kesenjangan antara perencanaan program dan penerimaan di masyarakat. 2.) Media komunikasi yang digunakan pemerintah desa dianggap kurang efektif, yang mendikasiakan pentingnya evaluasi ulang strategi penyampaian pesan lingkungan. 3.) fakta 3 dari 6 bank sampah yang aktif dan semua dikelola ibu-ibu PKK menunjukkan adanya ketimpangan distribusi peran dan rendahnya keterlibatan kelompok masyarakat lain, terutama pemuda.
Analisis Perspektif Pelaku Lapangan ( Pengepul Barang Bekas)
Temuan Utama : Pengepul belum pernah menerima sosialisai langsung tentang program 3R dan baru mengetahui dari poster yang ditunjukkan peneliti.
Analisis : 1.) Ini menandakan adanya keterputusan antara program desa dan pelaku informal, padahal pengepul adalah factor penting dalam pengelolaan sampah. 2.) reaksi positif terhada poster menunjukkan bahwa media yang sederhana dan visual mampu menyampaikan pesan secara efektif, asal distribusinya secara merata. 3.) saran dari pengepul agar kampanye lebih menyasar masyarakat akar rumput menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran kritis dan kemauan terlibat, yang belum dimanfaatkan secara optimal.
(Placeholder1)
Analisis Dari Perspektif Warga
Temuan Utama : Warga mengetahui istilah 3R dari kampanye disekolah (ecobrik), namun tidak mendapat sosialisasi langsung dan belum mempraktikan dalam kehidupan sehari hari.
Analisis : 1.) Warga menunjukkan kesadaran pasif yang berarti tahu mengenai 3R tapi tidak tahu cara penerapanya. 2.) Keterlibatan dalam praktik 3R mencerminkan minimnya pendekatan langsung dan keterlibatan komunitas dalam edukasi lingkungan. 3.) Saran warga agar dilakukan pendekatan gotong ryong dan kebijakan RT/dusun menunjukkan adanya potensi local yang bias dioptimalkan lewat strategi partisipatif dan berbasis komunitas.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, efektivitas kampanye lingkungan berbasis prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) di Desa Talok menunjukkan berbagai tantangan dalam keterlibatan aktif dalam menyelenggarakan kampanye, partisipasi masyarakat tetap rendah. Kondisi ini menegaskan bahwa keberhasilan program kampanye tidak hanya bergantung pada keberadaan program itu sendiri, tetapi juga pada strategi penyampaian yang digunakan. Hal serupa ditemukan dalam studi (Cardey et al., 2024), yang menyatakan bahwa pendekatan komunikasi satu arah (top-down) tanpa memahami karakter sosial masyarakat menyebabkan rendahnya partisipasi dalam program 3R yang dilaksanakan di lingkugan komunitas.
Kesenjangan informasi juga ditemukan pada pelaku lapangan seperti pengepul barang bekas. Kelompok ini belum pernah menerima sosialisasi atau materi kampanye terkait prinsip 3R. Padahal, mereka merupakan bagian penting dalam rantai pengelolaan sampah, terutama pada aspek reuse dan recycle. Temuan ini memperkuat hasil riset oleh (Puspitawati n.d. 2022),yang menyebutkan bahwa pelaku informal seringkali tidak dilibatkan dalam perencanaan program pengelolaan sampah, meskipun merek berperan aktif dalam praktiknya di lapangan.
Disisi lai , masyarakat umum menunjukkan tingkat kesadaran pasif, yaitu mengetahui istilah 3R tetapi belum memahami cara penerapannya secara praktis. Mereka lebih familiar dengan kampanye melalui media sosial seperti poster atau informasidari sekolah anak, namun belum pernah mengikuti penyuluhan secara langsung.
Faktor bahsa dan budaya juga menjadi aspek penting dalam efektivitas komunikasi lingkungan. Penelitian ini menunjukkan bahawa penggunaan Bahasa Indonesia sebagai satu- satunya media komunikasi tidak selalu efektif menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi warga usia lanjut atau berpendidikan rendah. Oleh karena itu, strategi penerjemahan pesan kedalam bahasa local seperti Bahasa Jawa dinilai lebih tepat. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dijelaskan oleh (Hilmi et al., 2021b), bahwa komunikasi lingkungan yang efektif harus mempertimbangkan latar budaya local dan menggunakan pendekatan yang partisipatif untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap program yang dijalankan.
Lebih lanjut, keterlibatan warga dalam memnyarkan pendekatan kampanye berbasis RT atau kegiatan gotong royong menunjukkan adanya potensi local yang belum dioptimalkan. Strategi kampanye yang lebih membumi dan berbasis komunitas tidak hanya akan memperluas jangkauan pesan, tetapi juga dapat membangun rasa tanggung jawab kolektif dalam menjaga lingkungan. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan community-based development, yang terbukti mampu meningkatkan efektivitas program lingkungan karena menyentuh struktur sosial masyarakat yang sudah ada.
Dengan demikian, pembahasan ini menunjukkan bahwa keberhasilan kampanye 3R di tingkat desa memerlukan kombinasi antara strategi komunikasi visual yang kontekstual, pendekkatan linguistic yang adaptif terhadap budaya local, serta pelibatan aktif semua lapisan masyarakat, termasuk pelaku informal. Penerjemahan pesan kampanye kedalam bahasa local tidak hanya menjadi alat bantu bahsa, tetapi juga sarana menjembatani makna dan nilai agar lebih mudah dipahami dan diterima, sehingga kesadaran lingkungan dapat tumbuh secara kolektif.
KESIMPULAN
Studi kasus yang dilakukan di Desa Talok menunjukkan bahwa program kampanye lingkungan dengan pendekatan Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) memang telah mulai diterapkan, namun implementasinya masih belum berjalan secara optimal. Inisiatif ini, meskipun memiliki potensi besar dalam mengurangi volume sampah dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan, belum mampu memberikan dampak yang signifikan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tiga kelompok kunci, yakni perangkat desa, warga lokal, dan pengepul barang bekas, ditemukan beberapa hambatan yang menghambat keberhasilan program ini. Salah satu tantangan utama yang diidentifikasi adalah adanya kesenjangan pemahaman antar pemangku kepentingan mengenai konsep dan praktik 3R, yang sebagian besar disebabkan oleh hambatan bahasa serta rendahnya tingkat literasi lingkungan di kalangan masyarakat. Banyak warga masih belum sepenuhnya memahami arti dan pentingnya prinsip 3R, karena materi kampanye yang digunakan cenderung bersifat teknis dan tidak disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya lokal. Selain itu, kurangnya pendampingan berkelanjutan dan minimnya pelatihan praktis juga memperparah kondisi ini. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan komunikatif, dengan mempertimbangkan aspek bahasa lokal serta penggunaan media edukatif yang mudah dipahami agar pesan kampanye dapat tersampaikan dengan lebih efektif dan merata.
Dari sisi perangkat desa, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pengelolaan sampah, salah satunya dengan membentuk bank sampah dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Inisiatif ini bertujuan untuk menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebagai bagian dari solusi pengurangan sampah di tingkat lokal. Namun, kenyataannya, tingkat keterlibatan warga masih tergolong rendah. Berdasarkan pengamatan dan evaluasi sementara, pemahaman masyarakat terhadap konsep 3R bahkan belum mencapai 50%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kendala bahasa. Meskipun sosialisasi telah dilakukan dalam Bahasa Indonesia, ternyata pendekatan ini belum sepenuhnya efektif. Banyak warga, terutama yang berusia lanjut atau berlatar belakang pendidikan rendah, kesulitan memahami istilah teknis dan konsep abstrak yang disampaikan. Oleh karena itu, perangkat desa mulai mengembangkan strategi komunikasi yang lebih kontekstual dan membumi, seperti menerjemahkan materi ke dalam Bahasa Jawa atau menggunakan campuran antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pendekatan ini dinilai lebih mampu menjembatani kesenjangan pemahaman sekaligus memperkuat keterhubungan emosional dan budaya antara pesan yang disampaikan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat desa.
Warga lokal menyatakan bahwa mereka hanya mengetahui makna konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) secara umum, namun belum pernah menerima sosialisasi yang bersifat formal, mendalam, atau berkesinambungan dari pihak terkait. Informasi yang mereka peroleh sejauh ini sebagian besar berasal dari sumber tidak resmi seperti poster di sekolah atau tempat umum, dan hanya dalam bentuk pengetahuan dasar. Akibatnya, penerapan prinsip 3R dalam kehidupan sehari-hari masih sangat terbatas, tidak konsisten, dan tidak merata di seluruh lapisan masyarakat. Warga juga mengakui bahwa metode penyuluhan yang bersifat teoritis kurang efektif dalam meningkatkan kesadaran maupun partisipasi. Sebaliknya, mereka cenderung lebih memahami dan tertarik apabila penyampaian dilakukan melalui praktik langsung yang aplikatif, menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, warga menyarankan agar pendekatan yang digunakan lebih bersifat partisipatif, dengan melibatkan komunitas tingkat RT/RW dalam bentuk kegiatan seperti kerja bakti lingkungan, lomba kebersihan antar wilayah, serta penyebaran informasi melalui media visual seperti poster atau spanduk yang menggunakan bahasa daerah setempat. Pendekatan ini dinilai lebih membumi, relevan dengan konteks sosial budaya, dan mampu membangun rasa memiliki serta tanggung jawab kolektif terhadap pengelolaan sampah dan kelestarian lingkungan.
Di sisi lain, para pengepul barang bekas mengakui bahwa mereka belum pernah menerima informasi langsung mengenai konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), baik melalui media seperti poster, brosur, maupun melalui kegiatan sosialisasi yang diadakan oleh pihak desa. Padahal, mereka memiliki peran vital dalam rantai pengelolaan sampah, terutama dalam mendaur ulang material yang masih memiliki nilai guna. Kurangnya informasi yang disampaikan dalam bahasa dan konteks lokal yang mudah dipahami membuat mereka merasa tidak sepenuhnya diberdayakan dan diakui dalam sistem pengelolaan sampah yang lebih luas. Akibatnya, potensi mereka dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, mereka juga menghadapi berbagai kendala teknis di lapangan, seperti penumpukan barang bekas yang tidak terangkut ketika terjadi gangguan dalam proses distribusi ke tempat pengepulan utama. Hal ini tidak hanya menghambat alur kerja mereka, tetapi juga menimbulkan masalah baru seperti keterbatasan ruang penyimpanan dan potensi pencemaran lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka.
Dari temuan ini, dapat disimpulkan bahwa peran penerjemahan bahasa global ke dalam bahasa lokal sangat penting dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap isu lingkungan global. Penerjemahan tidak hanya sekadar mengalihkan makna dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga mencakup proses adaptasi pesan agar sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai lokal yang dianut oleh masyarakat. Dalam konteks ini, konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebagai bagian dari kesadaran lingkungan dunia hanya akan efektif jika mampu dikomunikasikan melalui bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat setempat dan disampaikan dengan pendekatan yang selaras dengan budaya mereka. Tanpa adanya penyesuaian linguistik dan kultural, pesan-pesan lingkungan yang bersifat global cenderung sulit dipahami, dihayati, dan diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peran penerjemah, edukator, dan komunikator lingkungan sangat krusial dalam menjembatani kesenjangan pemahaman ini, sehingga kampanye pelestarian lingkungan dapat diterima secara luas dan mendorong tindakan nyata dari masyarakat di tingkat lokal.
Dengan demikian, penerjemahan bukan hanya bersifat linguistik semata, melainkan juga memainkan peran penting sebagai alat transformasi sosial dan edukasi lingkungan. Ia tidak hanya memindahkan makna dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga mentransfer nilai-nilai, perspektif, dan pengetahuan yang dapat menginspirasi perubahan dalam masyarakat. Dalam konteks globalisasi saat ini, penerjemahan mampu menjembatani kesenjangan antara wacana global seperti isu-isu perubahan iklim, keadilan sosial, dan keberlanjutan—dengan aksi lokal yang konkret di berbagai komunitas. Melalui penerjemahan, informasi-informasi penting yang awalnya hanya tersedia dalam bahasa tertentu dapat diakses secara luas, memungkinkan individu dan kelompok di tingkat lokal untuk memahami, mengadopsi, dan menerapkan praktik-praktik yang lebih sadar lingkungan dan inklusif. Dengan kata lain, penerjemahan berperan sebagai penghubung yang krusial dalam membangun kesadaran kolektif dan mendorong kolaborasi lintas budaya demi masa depan yang lebih berkelanjutan.
REFERENCES
Almulhim, A. I., & Abubakar, I. R. (2021). Understanding public environmental awareness and attitudes toward circular economy transition in saudi arabia. Sustainability (Switzerland), 13(18), 1–15. https://doi.org/10.3390/su131810157
Cardey, S., Eleazar, P. J. M., Ainomugisha, J., Kalowekamo, M., & Vlasenko, Y. (2024). Communication for Development: Conceptualising Changes in Communication and Inclusive Rural Transformation in the Context of Environmental Change. Social Sciences, 13(6). https://doi.org/10.3390/socsci13060324
Dahlan, A., Jend, J., & Yani, A. (2023). Implementation of reduce , reuse , recycle ( 3R ) movement to improve the students ’ environmental literacy. 4(1), 25–34. https://doi.org/10.12928/ijei.v4i1.10298
Harris, U. S. (2018). Participatory Media in Environmental Communication. In Participatory Media in Environmental Communication (Issue February). https://doi.org/10.4324/9781315622576
Hilmi, M. I., Lutfiansyach, D. Y., Hufad, A., Kamil, M., & Wahyudin, U. (2021a). Universitas Universitas Eco-Literacy : Digital Repository Repository Universitas Universitas Jember Jember. 118–121.
Hilmi, M. I., Lutfiansyach, Y., Hufad, A., Kamil, M., & Wahyudin, U. (2021b). Eco-literacy: Fostering community behavior caring for the environment. In Proceedings of the First Transnational Webinar on Adult and Continuing Education (TRACED 2020) (pp. 118–121).
Ji, S., & Lin, P. S. (2022). Aesthetics of Sustainability: Research on the Design Strategies for Emotionally Durable Visual Communication Design. Sustainability (Switzerland), 14(8), 1–23. https://doi.org/10.3390/su14084649
Kajian Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat dengan Konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Kelurahan Larangan Kota Cirebon | Puspitawati | Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. (n.d.). https://ejournal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6490/5355
Lim, W. M. (2025). What Is Qualitative Research? An Overview and Guidelines. Australasian Marketing Journal, 33(2), 199–229. https://doi.org/10.1177/14413582241264619
Oppong, C., & Mathibe, M. S. (2024). Women’s Role in Promoting Sustainable Development Through Stakeholder Engagement and Environmental Policy: African Perspectives On the Circular Economy. In Business Strategy & Development (Vol. 7, Issue 4). https://doi.org/10.1002/bsd2.70051 LK - https://doi.org/10.1002/bsd2.70051
Pengelolaan, S., Di, S., & Trawas, D. (2024). Strategi pengelolaan sampah 3r di desa trawas kecamatan trawas kabupaten mojokerto 1,2. 7(4), 2267–2284.
Uwuigbe, U., Issah, O., Ranti, U. O., Zubeiru, M., Anaba, S., & Seidu, A. A. J. (2025). Circular Economy: A Bibliometric Review of Research in Emerging Economies (2010-2024). International Journal of Energy Economics and Policy, 15(1), 77–89. https://doi.org/10.32479/ijeep.17021
Vallverdu-Gordi, M., & Marine-Roig, E. (2023). The Role of Graphic Design Semiotics in Environmental Awareness Campaigns. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(5). https://doi.org/10.3390/ijerph20054299