Desakan 10 Tahun Warga Brayung Akhirnya Terwujud: Pengusaha Rosok Sepakat Tutup Operasi
| Perjuangan panjang selama kurang lebih 10 tahun yang dilakukan warga Dusun Ngrayung, Desa Brayung, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto. | Polsek, Koramil, dan RT Brayung dan Perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kab. Mojokerto |
Mojokerto, 18 November 2025 — Perjuangan panjang selama kurang lebih 10 tahun yang dilakukan warga Dusun Ngrayung, Desa Brayung, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, melawan dampak lingkungan dari aktivitas penggilingan barang bekas (rosok) akhirnya mencapai titik terang. Melalui mediasi yang digelar hari ini, 18 November 2025, di Aula Balai Desa Brayung, pemilik usaha bersedia untuk menutup dan memindahkan operasinya.
Kesepakatan ini mengakhiri rentetan pengaduan warga yang diklaim telah diajukan berulang kali sejak sekitar tahun 2018, bahkan pengaduan resmi ke Desa Brayung dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Mojokerto pernah dilakukan pada tahun 2022.
Kerugian dan Dampak Lingkungan yang Dikeluhkan Warga
Menurut dokumen tuntutan warga, dampak negatif dari usaha rosok yang dikelola oleh Pemilik Penggiling Rosok Insial R ini sangat signifikan, meliputi:
- Pencemaran Air Sungai: Air lindi dari penggilingan dibuang ke sungai, menyebabkan air menjadi kotor dan menghitam.
- Kerusakan Infrastruktur: Getaran mesin penggilingan menyebabkan retak pada tembok rumah warga dan bahkan musholla.
- Gangguan Kenyamanan: Suara mesin yang sangat keras dan bising mengganggu masyarakat, bahkan terdengar hingga ke dusun tetangga.
Dalam Berita Acara kesepakatan tertanggal 18 November 2025, pemilik usaha, Insial R, menyanggupi untuk menghentikan/memindahkan usahanya dalam waktu satu minggu, terhitung mulai tanggal 18 hingga 25 November 2025. Pemilik usaha juga siap memberikan kompensasi kepada rumah warga yang terdampak.
Sorotan Kinerja Perangkat Desa dan Pihak Berwenang
Meskipun permasalahan ini telah berlangsung selama satu dekade, baru pada tanggal 18 November 2025, keputusan penutupan dapat direalisasikan, menimbulkan pertanyaan besar mengenai kinerja perangkat desa, carik, serta aparat penegak hukum setempat selama ini.
Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, warga Brayung mempertanyakan keberadaan dan langkah nyata dari perangkat Desa Brayung, Koramil Puri, dan Polsek Puri dalam menangani pengaduan yang berulang, terutama mengingat dampak lingkungan dan sosial yang begitu parah. Dugaan adanya kerja sama antara pengusaha rosok dan pihak tertentu mencuat di tengah masyarakat, khususnya setelah salah satu pihak dari Polsek Puri, sebelum mediasi, diduga telah berbicara dengan pemilik usaha rosok.
Reaksi Pihak Keamanan di Lokasi Mediasi
Mediasi yang berlangsung panas pada hari itu juga disoroti oleh pernyataan kontroversial dari perwakilan Koramil Brayung.
"Salah satu perwakilan Koramil yang hadir sempat melontarkan keberatan terkait kehadiran media peliput," ujar salah satu sumber yang hadir dalam mediasi. "Ia mengatakan 'kenapa bawa media? seharusnya tidak perlu,' dan bahkan meminta agar berita yang disusun dikirim kepadanya sebelum ditayangkan."
Pernyataan ini menambah kerumitan, di mana publik menilai seharusnya fokus utama aparat adalah pada penyelesaian konflik dan perlindungan lingkungan, bukan pada pembatasan liputan pers.
Dengan adanya kesepakatan penutupan ini, warga berharap tidak ada lagi kemunduran dan berharap pihak Pemkab Mojokerto melalui Dinas Lingkungan Hidup, Camat Puri, serta kepolisian dan Koramil, memastikan realisasi penutupan sesuai batas waktu yang telah disepakati bersama.
Sepuluh Tahun 'Tidur Cantik': Oknum Polsek, Koramil, dan RT Brayung Kemana Saja?
Keputusan penutupan usaha penggilingan rosok di Desa Brayung, Mojokerto, yang akhirnya disepakati pada 18 November 2025, tentu menjadi kemenangan bagi warga yang telah berjuang melawan pencemaran dan kebisingan selama satu dekade penuh. Namun, di balik kemenangan ini, muncul pertanyaan yang menggelitik sekaligus menyindir: Selama 10 tahun penderitaan warga, kemana saja 'penjaga keamanan' dan 'perwakilan masyarakat' di Brayung?
RT/RW Setempat: Laporan Menumpuk, Respon Mendung
Sebagai garda terdepan dan perpanjangan tangan warga, peran Ketua RT dan RW seharusnya menjadi yang paling cepat tanggap. Namun, mengapa keluhan warga harus bergulir hingga bertahun-tahun lamanya, bahkan hingga muncul dampak serius seperti tembok retak dan sungai menghitam?
- Apakah fungsi sebagai perwakilan masyarakat telah bertukar menjadi fungsi tunda?
- Mungkinkah kesibukan mengurus administrasi kecil jauh lebih penting daripada mengurus kesehatan lingkungan dan kenyamanan ratusan warga?
- Atau, apakah laporan dan air sungai yang menghitam baru dianggap "masalah" setelah warga sudah benar-benar kehabisan kesabaran dan membawa masalah ini ke media dan forum yang lebih tinggi?
Polsek Puri dan Koramil Brayung: Baru 'Turun Gunung' Setelah Media Datang?
Kehadiran aparat keamanan dalam mediasi pada 18 November 2025 sangat penting, tetapi pertanyaan kritis muncul: Apa tugas yang dilakukan Polsek Puri dan Koramil Brayung selama sepuluh tahun sebelumnya?
- Sebagai penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban umum dan memastikan kepatuhan terhadap aturan, apakah laporan berulang dari warga dianggap kurang urgens selama ini
- Mengapa perlu menunggu hingga warga berada di titik klimaks dan media peliput hadir di lokasi, baru kemudian mediasi penutupan bisa direalisasikan?
- Sindiran keras juga diarahkan pada oknum Polsek yang diduga telah berkoordinasi dengan pemilik usaha sebelum keputusan mediasi. Bukankah tugas utama adalah melindungi warga, bukan menciptakan "zona nyaman" bagi pihak yang melanggar dan mencemari lingkungan?
Pernyataan dari perwakilan Koramil saat mediasi yang keberatan dengan kehadiran media dan meminta draf berita sebelum tayang, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa proses penutupan ini lebih memilih dilakukan di bawah karpet daripada di bawah sorotan publik.
Perangkat Desa: Tidur Nyenyak di Atas Tumpukan Aduan?
Paling disoroti adalah perangkat desa. Dengan adanya pengaduan resmi sejak tahun 2022 dan perselisihan yang terjadi sejak 2018, perangkat desa Brayung jelas mengetahui akar masalahnya.
- Apakah perangkat desa selama ini sedang menjalankan "program pengawasan pasif"?
- Apakah tumpukan aduan warga hanya dianggap sebagai kertas rongsokan yang sepadan dengan barang yang digiling?
- Setelah 10 tahun, keberhasilan penutupan ini bukan lagi disebut "keberhasilan respons cepat," melainkan "respons kura-kura" yang dipicu oleh tekanan massa dan potensi konflik besar.
Semoga realisasi penutupan pabrik rosok ini menjadi pelajaran pahit bagi oknum-oknum terkait di Brayung, bahwa gaji dan tanggung jawab itu dibayar untuk melayani dan melindungi masyarakat, bukan untuk bersikap abai selama satu dekade penuh.
"Di tengah berkecamuknya ketidakadilan, biarkan rasa murni dalam jiwamu menjadi sumber energi baru yang mendorongmu untuk memberikan yang terbaik bagi lingkungan sekitar. Namun, ingatlah selalu: teruslah memelihara sifat merasa bodoh dan tidak memiliki apa-apa di dunia ini. Sebab, kerendahan hati itulah ruang suci ( dharmma) di mana kamu akan selalu merasa dekat, terbuka, dan menerima setiap bimbingan sejati terdengar dalam hati kita yang datang. Manusia adalah wadah yang sempurna tapi terpisah dan terkunci dengan duniawi," Ujar Djoko Warga Setempat