Notification

×

Indeks Berita

Jerat Hukum Bagi Pihak yang Menghalang-halangi Kegiatan Keagamaan

| Editor: Margo Utomo | 12 April 2024 | Last Updated 2024-03-23T12:21:46Z



NEW JURNALIS - Pertanyaan :  Bagaimana sih hukumnya jika melakukan acara agama bukan di tempat ibadah, misalnya di gedung pertemuan? Boleh atau tidak? Terkait dengan peristiwa pembubaran acara agama di kota Bandung, padahal mereka sudah mendapat izin dari pihak berwenang terkait pemakaian tempat umum untuk acara tersebut. Adakah sanksi bagi orang yang membubarkanya?


Ulasan:

Dalam artikel Sanksi Hukum Jika Menghalangi Orang Melaksanakan Ibadah dijelaskan bahwa pada dasarnya Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut ini:


1.Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”


2.Pasal 29 ayat (2) UUD 1945

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”


3.Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)

“Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”


 4.Pasal 22 UU HAM

1).Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2).Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


Sanksi Jika Menghalangi Kegiatan Keagamaan

UU HAM tidak memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 22 UU HAM. Akan tetapi, ketentuan pidana bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan keagamaan atau upacara keagamaan yang diizinkan, dapat dijerat dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):


“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”


Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.148), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:


1.“pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama;

2.“upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu;

3.“upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur.


Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh negara.


Merujuk pada pasal di atas, jelas bahwa pertemuan yang bermaksud untuk melakukan acara keagamaan (tanpa menyebutkan di tempat tertentu) yang telah diizinkan, tidak boleh dihalang-halangi. Yang menghalang-halangi dapat dipidana sebagaimana diuraikan di atas.


Jika yang dilakukan oleh pelaku adalah sengaja menimbulkan kegaduhan pada pertemuan keagamaan, maka dapat dipidana dengan Pasal 176 KUHP sebagai berikut:


“Barang siapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah.”


Jadi pada dasarnya negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Sejauh ini tidak ada aturan yang melarang pelaksanaan acara keagamaan di tempat umum. Akan tetapi, perlu izin dari kepolisian jika kegiatan di tempat umum tersebut melibatkan orang banyak.


Penggunaan Tempat Umum Untuk Kegiatan Keagamaan

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”), Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya.

Keramaian umum yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) KUHP, yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum.[1]

Untuk itu kita perlu melihat apa yang disebutkan dalam Pasal 510 KUHP, yaitu sebagai berikut:


  • 1.Dihukum dengn hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp 375, barang siapa yang tidak dengan izin kepala polisi atu pegawai negeri yang ditunjuk oleh pembesar itu:
  • 2.Mengadakan pesta umum atau keramaian umum;
  • 3.Mengadakan pawai di jalan umum.
  • 4.Jika pawai itu diadakan untuk menyatakan cita-cita dengan cara yang hebat, si tersalah dihukum kurungan paling lama dua minggu atau denda paling banyak Rp 2.250.


R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 330) merujuk pada Penjelasan Pasal 510 KUHP menjelaskan bahwa yang dinamakan “Keramaian umum” atau pesta umum yaitu pesta atau keramaian bagi khalayak ramai yang diadakan di tempat umum, misalnya pasar malam dan lain-lain. Pesta privat seperti sunatan, perkawinan, ulang tahun dan sebagainya, yang diadakan di rumah dalam kalangan sendiri dan yang diundang saja, tidak masuk di sini.


Sedangkan arak-arakan atau pawai di jalan umum misalnya keramaian Cap Go Meh dan sebagainya. Kegiatan itu semua harus ada izin terlebih dahulu dari Kepala polisi setempat untuk dapat mengadakan penjagaan yang diperlukan, jika tidak dikenakan pasal ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pawai untuk menyatakan cita-cita yang hebat misalnya pawai untuk demonstrasi.


Ini berarti jika ingin mengadakan acara keagamaan untuk khalayak ramai di tempat umum, yang siapapun bisa datang untuk menghadirinya, maka diperlukan izin dari kepolisian. Izin ini dinamakan izin keramaian.



No comments:

×
KIRIM TULISAN? Disini